ADSENSE1

Jika kamu Pernah Melakukan Dosa ini, Segeralah Bertaubat karena Siksaannya Berat

 

sumber foto : kabarmekkah

kita mungkin pernah mendengar kisah penduduk suatu desa yang pindah keyakinan karena iming iming sembako. namun yang ditekankan disini adalah tentang keimanan kita yang lemah di zaman ini, sehingga kita perlu ikhtiar dan menutupi setiap celah fitnah/godaan tersebut. karenanya janganlah bersedih jika kesempitan rezeki itu adalah takdir kita, karena tetap miskin setelah berusaha maksimal lagi halal itu tidaklah tercela. namun yang tercela adalah jika kemiskinan tersebut membuat kita menggadaikan agama.
Mengapa Harus Menggadaikan Agama?
Kehidupan dunia adalah medan tempaan dan ujian (darul ibtila’) bagi setiap hamba yang menjalaninya. Masing-masing akan mendapatkan ujian dari Allah Subhanahu wata’ala sesuai dengan kadar keimanannya. Terkadang dalam bentuk keburukan dan terkadang pula dalam bentuk kebaikan (kenikmatan). Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” (al-Anbiya’: 35)

Ujian dalam bentuk keburukan bermacam-macam. Adakalanya berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta (kemiskinan), kekurangan jiwa (wafatnya orang-orang yang dicintai), kekurangan buah-buahan (bahan makanan), dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

لَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْأَمْوَالِ وَالْأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ ۗ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ

“Sungguh akan Kami berikan ujian kepada kalian, dalam bentuk sedikit dari ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepadaorang-orang yang bersabar.” (al-Baqarah: 155)
Ujian dalam bentuk kebaikan juga bermacam-macam. Adakalanya berupa kenikmatan, harta, anak-anak, kedudukan, dan yang semisalnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

“Ketahuilah, sesungguhnya harta dan anak-anak kalian itu (sebagai) ujian, dan di sisi Allahlah pahala yang besar.” (al-Anfal: 28)

Beragam ujian itu diberikan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba tiada lain agar tampak jelas di antara para hamba tersebut siapa yang jujur dalam keimanannya dansiapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh kesah dan siapa pula yang bersabar. Demikianlah, Allah Subhanahu wata’alaDzat Yang Maha Adil lagi Maha Bijaksana menghendakinya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
الم
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Alif Laam Miim, apakah manusia mengira untuk dibiarkan berkata, ‘Kami telah beriman’ sedangkan mereka tidak diberi ujian? Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang jujur dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 1-3)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’alamengabarkan bahwa Dia akan memberikan beragam ujian kepada para hamba-Nya, agar tampak jelas (di antara para hamba tersebut) siapa yang jujur (dalam keimanannya) dan siapa pula yang berdusta, siapa yang selalu berkeluh kesah, dan siapa pula yang bersabar.

Demikianlah sunnatullah. Sebab, manakala keadaan suka semata yang selalu mengiringi orang yang beriman tanpa adanya tempaan dan ujian, maka akan muncul ketidakjelasan (militansi/semangat keislamannya, –pen.), dan ini tentu saja bukanlah suatu hal yang positif.

Sementara itu, hikmah Allah Subhanahu wata’ala menghendaki adanya sinyal pembeda antara orang-orang yang baik (ahlul khair) dan orang-orang yang jahat (ahlusy syar). Itulah fungsi tempaan dan ujian, bukan untuk memupus keimanan orang-orang yang beriman, bukan pula untuk menjadikan mereka lari dari Islam. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak akan menyia-nyiakan keimanan orang-orang yang beriman.”(Taisirul Karimirrahman, hlm. 58)

Berbahagialah orang-orang yang diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala saat ujian tiba. Manakala ujian keburukan yang tiba, dia hadapi dengan penuh kesabaran. Manakala ujian kebaikan, dihadapinya dengan penuh syukur kepada Allah Subhanahu wata’ala.

Adapun orang-orang yang tidak diberi taufik dan hidayah oleh Allah Subhanahu wata’ala saat ujian tiba, agama menjadi taruhannya. Iman dan Islam yang merupakan modal utama dalam hidup ini digadaikannya demi kesenangan sesaat. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِم،ِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِيْ كَافِرًا وَيُمْسِيْ مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيْعُ دِيْنَهُ
بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا

“Bergegaslah kalian untuk beramal, (karena akan datang) ujian-ujian ibarat potongan-potongan malam yang gelap. (Disebabkan ujian tersebut) di pagi hari seseorang dalam keadaan beriman dan sore harinya dalam keadaan kafir, di sore hari dalam keadaan beriman dan keesokan harinya dalam keadaan kafir. Dia menjual agamanya dengan sesuatu dari (gemerlapnya) dunia ini.” (HR. Muslim no. 118 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Hadits di atas mencakup seluruh pribadi umat ini, baik yang miskin maupun yang kaya. Yang miskin menjual agamanya dan menggadaikan imannya, karena tak sabar akan ujian kekurangan (kemiskinan) yang dideritanya. Cukup banyak contoh kasusnya di masyarakat kita. Terkadang dengan iming-iming jabatan, terkadang dengan pemberian modal usaha atau pinjaman lunak, terkadang dengan pemberian rumah atau tempat tinggal, terkadang dengan pembagian sembako, bahkan terkadang hanya dengan beberapa bungkus mi instan.
Adapun yang kaya, dia menjual agamanya dan menggadaikan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya. Ia tidak mau mensyukuri karunia Allah Subhanahu wata’ala yang diberikan kepadanya. Bahkan, ia merasa bahwa semua itu berkat kepandaian dan jerih payahnya semata. Ingatkah Anda tentang kisah Qarun, seorang hartawan dari Bani Israil (anak paman Nabi Musa ‘alaihis salam) yang menggadaikan agama dan imannya karena kesombongan dan hawa nafsunya? Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَىٰ فَبَغَىٰ عَلَيْهِمْ ۖ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ,
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي ۚ أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِن قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا ۚ وَلَا يُسْأَلُ عَن ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Sesungguhnya Qarun termasuk dari kaum Nabi Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah karuniakan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat. (Ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya, ‘Janganlah engkau terlalu bangga diri (sombong), sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang membanggakan diri (sombong). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.’ Qarun pun menjawab, ‘Sesungguhnya aku dikaruniai harta tersebut dikarenakan ilmu (kepandaian)-ku.’ Tidakkah Qarun tahu, sungguh Allah telah membinasakan umat-umat sebelum dia yang jauh lebih kuat darinya dan lebih banyak dalam mengumpulkan harta? Dan tak perlu dipertanyakan lagi orang-orang jahat itu tentang dosa-dosa mereka. Maka (suatu hari) tampillah Qarun di tengah-tengah kaumnya dengan segala kemegahannya, lalu berkatalah orang-orang yang tertipu oleh kehidupan dunia‘ ,Duhai kiranya kami dikaruniai (harta) seperti Qarun, sungguh dia telah mendapatkan keberuntungan yang besar.’ Adapun orang-orang yang berilmu, mereka mengatakan, ‘Celakalah kalian, sesungguhnya karunia Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, namun tidaklah pahala itu diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar’.” (al-Qashash: 76-80)

Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Allah Subhanahu wata’ala menerangkan (dalam ayat-ayat tersebut, –pen.) bahwa Qarun telah diberi perbendaharaan harta yang amat banyak hingga ia lupa diri, dan semuayang dimilikinya itu ternyata tidak mampu menyelamatkannya dari azab Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana yang telah dialami (sebelumnya, –pen.) oleh Fir’aun.” (Tafsir al-Qurthubi)

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ke-77 dari surat al-Qashash tersebut, mengatakan, “Pergunakanlah apa yang telah dikaruniakan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepadamu, yaitu harta yang banyak dan nikmat yang tak terhingga itu, untuk ketaatan kepada Rabb-mu dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan beragam amal saleh, yang diharapkan dengannya mendapatkan pahala, baik di dunia maupun di akhirat. (Janganlah kamu melupakan bagianmu dari [kenikmatan] duniawi,

yang Allah Subhanahu wata’ala halalkan bagimu, yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan menikahi wanita. Menjadi keharusan bagimu untuk menunaikan hak Rabb-mu, hak dirimu, keluargamu, dan orang-orang yang mengunjungimu. Tunaikanlah haknya masing-masing. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala telah berbuat baik kepadamu. Janganlah kamu berambisi dengan kekayaan yang ada untuk berbuat kerusakan di (muka) bumi dan berbuat kejahatan kepada sesama. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Tafsir Ibnu Katsir)
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita bahwa siapa pun yang menjalani kehidupan dunia ini pasti akan menghadapi berbagai ujian. Saat itulah seseorang akan mengalami pergolakan dan perseteruan dalam jiwanya. Hasilnya akhirnya, apakah bisa istiqamah di atas iman dan Islam, ataukah ia justru menggadaikannya demi kesenangan sesaat.
Maka dari itu, ketika ujian itu tiba, tiada kata yang indah yang patut diucapkan selain dzikrullah (berzikir dengan mengingat Allah Subhanahu wata’ala), karena dengan zikrullah hati akan menjadi tenteram sehingga dimudahkan untuk memilih jalan kebenaran. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah (zikrullah). Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (ar-Ra’d: 28)
Demikian pula, tiada perbuatan yang paling berguna bagi keselamatan diri ini selain kesungguhan dalam beramal saleh (termasuk menuntut ilmu agama), sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas.

Lebih dari itu, peran doa sangat penting dalam membantu keistiqamahan seseorang di atas iman dan Islam, kokoh di atas agama Allah Subhanahu wata’ala dan tak mudah menggadaikannya demi kesenangan sesaat. Di antara doa yang diajarkan oleh Allah l dalam al-Qur’an adalah,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus!” (al-Fatihah: 6)

“Wahai Rabb kami, Janganlah Engkau sesatkan hati-hati kami setelah Engkau beri kami hidayah dan karuniakanlah kepada kami kasih sayang dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau adalah Dzat Yang Maha Pemberi.” (Ali Imran: 😎

Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam juga selalu berdoa,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ

“Wahai Dzat Yang Maha Membolak-balikkan hati, kokohkanlah hatiku ini diatas agama-Mu.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 232 dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Akhir kata, semoga taufik dan hidayah Allah Subhanahu wata’ala selalu mengiringi kita dalam kehidupan dunia ini, sehingga dapat istiqamah di atas agama-Nya yang mulia serta berpijak di atas manhaj Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dengan satu harapan, mendapatkan kesudahan terbaik dalam hidup ini (husnul khatimah) dan dimasukkan ke dalam Jannah-Nya yang dipenuhi dengan kenikmatan. Amin.

Ditulis oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi via asysyariah.com

Belum ada Komentar untuk "Jika kamu Pernah Melakukan Dosa ini, Segeralah Bertaubat karena Siksaannya Berat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

ADSENSE2

MGID Gadget Pintar

ADSENE3