Arti dari KEIMANAN .. sampe mana iman anda, Cek apakah kamu punya rasa seperti ini
sumber foto : merdeka.com
Amal dan perilaku manusia pada hakikatnya merupakan emanasi dan refleksi dari pandangan hidup serta keyakinan yang bersemayam di dalam hati dan menjelajah di alam pikirannya. Manusia yang pandangan hidupnya tidak jelas dan ngambang, maka cenderung perilakunyapun akan nampak amburadul dan semrawut tidak karuan. Keyakinan yang tidak mantap dan labil akan melahirkan sosok-sosok manusia kelas rendah, pesimistis, munafik, materialis, pragmatis dan sekuler.
Dalam masalah faith ini, Dr. Yusuf Qardlawi memberikan definisi bahwa “keimanan adalah kepercayaan yang meresap ke dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak atau ragu, serta memberi pengaruh bagi pandangan hidup, tingkah laku dan perbuatan pemiliknya sehari-hari”
Pendapat beliau, sebagaimana dalam firman-Nya: Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-hujurat: 15)
Hemat penyusun, keimanan yang benar akan melahirkan tindak-tanduk yang benar pula dan memberikan prinsip hidup yang jelas dan terarah. Begitupun sebaliknya, keimanan yang kurang mantap serta mudah terpengaruh akan berakibat terhadap tingkah laku yang dinilai tidak baik, menurut agama maupun adat.
Selanjutnya, sebagaimana firman Allah di atas, keimanan yang benar hanyalah dimiliki oleh orang-orang yang benar. الصادقون menurut al-Qur’an ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta segala sesuatu yang dibawa olehnya. Keimanan sejati tidak lantas stagnan pada keyakinan dalam hati saja. Akan tetapi, diikuti dengan ketaatan terhadap sesuatu yang telah digariskan oleh Keduanya. Pada ayat di atas, Allah memberikan contoh dengan berjihad di jalan-Nya walaupuan harus mengorbankan jiwa, raga dan harta. Ini semua terjadi karena kesempurnaan keimanan yang dimiliki tanpa dihinggapi oleh benalu keraguan.
Keimanan yang sehat akan terlepas dari penyakit keraguan. Orang yang yakin sepenuh hati kepada Tuhannya tanpa dihampiri setitikpun keraguan, Ia tidak akan pernah mengeluh tatkala mendapati kesulitan hidup, karena dia meyakini bahwa Tuhannya menyembunyikan sesuatu kemudahan dibalik kesulitan itu. Ia senantiasa mengharap keluasan rahmat Tuhannya.
Keyakinan adalah keimanan sepenuh hati, maka tiada ruang untuk keraguan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud r.a: الْيَقِينُ الْإِيمَانُ كُلُّهُ (keyakinan adalah keimanan seluruhnya).[2]
Artikel Islami Koherensi Optimisme dalam Keimanan 2
Untuk itu, aqidah –tauhid yang dipahami secara benar, sesungguhnya menjadi kebutuhan rohaniah manusia. Sterilnya aqidah seseorang dari penyakit syirik, munafik, sekuler, pesimistis serta penyakit hati lainnya, akan melahirkan manusia-manusia prima, istiqamah, jujur, bertanggung jawab, penuh percaya diri dan berakhlak luhur.
Optimisme dalam Keimanan Sebuah Kajian Koherensi
Sebelum mempelajari lebih jauh koherensi antara keimanan dan optimisme, alangkah lebih baik jika kita mengetahui lebih dulu arti dari terma optimisme.
Menurut M. Dachlan Yacub Al Barry, optimisme adalah “keadaan selalu berpandangan dan berpengharapan baik.”[4]
Berpandangan yang baik merupakan awal dari perikehidupan yang cerah dan gemilang. Dalam islam, Allah menyuruh hamba-Nya untuk senantiasa berpandangan baik terhadap-Nya. Sebagaimana dalam hadits qudsi-Nya:
حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنَا أَبُو يُونُسَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ[5]
Artinya: ” Diriwayatkan dari Hasan bin Musa, dari Ibnu Lahi’ah, dari Abu Yunus, dari Abu Hurairah r.a, dari Rasulullah saw, sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: “Aku berada pada praduga hamba-Ku atas-Ku. Apabila prasangka itu baik, maka baginya kebaikan itu, dan apabila prasangka itu buruk, maka baginya keburukan itu.” (HR. Ahmad bin Hanbal)
Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu’ karena setelah dicheck para perawinya termasuk perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausu’ah al-Kutub al-Tis’ah, ternyata hadits ini tidak hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hanbal saja, tetapi terdapat pula di Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Al-Turmudzi, Sunan Ibnu Majah.
Imam Al-Qurthubi, seperti dikutip pakar hadis -Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari (13/386), menjelaskan dugaan atau sangkaan dimaksud adalah “dugaan pasti dikabulkan jika berdoa, diterima jika bertobat, diampuni jika memohon ampunan (istighfar), diberi balasan jika beribadah sesuai ketentuan”. Imam Nawawi, dalam Syarh Shahih Muslim (17/2) menambahkan, “dugaan akan diberi kecukupan dalam hidup jika ia minta dicukupi”
Telah jelas, bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan umat islam agar berharap penuh kepada Allah dan bersikap optimis. Rasa optimis ini tidak akan tumbuh kecuali didasari oleh keimanan yang benar. Keimanan yang benar akan tertanam pada keyakinan yang kuat. Sedangkan keyakinan adalah kunci membuka pintu kesuksesan bagi setiap orang, atau sebaliknya, merupakan alat yang mengunci seseorang dari luar, dari kemungkinan untuk sukes.[6]
Oleh karena itu, sebagaimana yang telah disampaikan, keimanan sempurna akan membuahkan panorama tingkah laku yang sedap dipandang mata. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara keimanan dan optimisme. Penyusun sependapat denagn Syaikh Abd Qadir al-Jailani yang membahasakan optimisme ini dalam salah satu judul pembahasan dalam buku tasawufnya dengan perumpamaan yang rasional, “takut dan harap adalah dua sayap iman.”[7]
Dalam perumpamaannya, penyusun memahami bahwa optimisme sebagai salah satu sayap iman akan dipengaruhi dan mempengaruhi kepada kondisi iman secara totalitas. Ketika sayap optimis itu berkepak dengan baik dengan dibarengi khasyah, maka akan mampu membawa keimanan terbang tinggi ke langit mencapai kesempurnaan. Begitupun tatkala rasa optimis sebagai elemen dari sayap itu patah dan atau tidak mampu berkepak dengan baik, maka keimanan akan jatuh dan terpuruk. Oleh karenanya, keduanya harus dijaga dan dikembangkan untuk kesuksesan hidup fiddarain.
Optimisme Bukan Berarti Mendahului Tuhan; Pembahasan Mengenai Hakikat Optimis.
Saat ini terjadi salah pengertian bahwa optimis yang diterjemahkan sebagai sikap hidup yang penuh dengan percaya diri berarti “sok tahu” terhadap kehendak Tuhan. “Saya pasti bisa” merupakan salah satu ungkapan dari sikap optimis. Sepintas bisa terjadi pemahaman bahwa dengan perkataan “pasti”nya itu seolah bahwa dia tahu takdir yang akan berlaku atasnya selanjutnya.
Pemahaman seperti di atas adalah salah dan keliru. Statement seperti itu dan atau sejenisnya bukan berarti menerawang terhadap ketentuan Tuhan. Akan tetapi, ungkapan seperti itu adalah verbalisasi dari sikap raja’-nya terhadap Tuhan, yaitu pengharapan akan kebaikan yang hendak ditetapkan kepadanya. Sikap seperti ini adalah yang diperintahkan oleh syari’at sebagaimana diterangkan di awal. Dalam Al-Qur’an Allah-pun menegaskan kembali:
Artinya: “Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”. (QS. Yusuf: 87)
Kendatipun ayat di atas merupakan cerita pada masa Nabi Yusuf, tetapi hakikatnya merupakan pesan Allah untuk segenap umat islam tanpa dibatasi waktu. Karenanya, umat Muhammadpun terpanggil untuk tidak berputus asa. Optimis terhadap rahmat Allah yang begitu luas. Orang yang tidak memiliki sikap optimis kecuali orang-orang kafir.
Dalam ayat lain, Allah menegaskan pula perintah untuk senantiasa bersikap raja’ terhadap rahmat-Nya.
Artinya: “Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)
Orang mukmin berkeharusan untuk memiliki sikap dan pandangan yang optimistik, khususnya tentang masa depan dirinya di akhirat kelak. Dalam terminologi sufistik, ajaran tentang sikap dan pandangan yang optimistik ini disebut juga raja’. Akan tetapi, penyusn lebih berkenan menyebut raja’ sebagai esensi atau hakikat dari optimisime. Hal ini kerana, terkadang orang memahami optimisme atau optimistik sebagai sikap percaya diri.
Raja’ menurut Abu Al-Qasim Al-Ashfahani, berarti kuatnya harapan seseorang akan tergapainya sesuatu yang didambakan. [8] Bagi kaum sufi, dambaan itu bisa berupa ampunan Tuhan (maghfirah) dan perkenan-Nya (mardlatillah). Kuatnya harapan ini membuat kaum sufi semakin intens dalam beribadah, dan seakan tak mengenal lelah dalam melakukan riyadhah dan mujahadah demi tercapainya cita-cita (mathlub).
Dalam perspektif Al-Hikam karya Ibnu ‘Athaillah Al-Askandary, raja’ lebih dipahami sebagai suatu harapan yang disertai oleh tindakan nyata. Jika tidak, ia bukanlah raja’, tetapi angan-angan kosong (amniyyah) yang justru dikecam oleh agama. Pendapat serupa dikemukakan pula oleh Makruf al-Karkhi, pakar tasawuf lainnya. Baginya, keinginan masuk sorga tanpa bekerja (beramal shaleh) tergolong dosa besar. “Harapanmu untuk mendapat rahmat dari Tuhan yang kepada-Nya kamu sendiri tidak tunduk dan patuh adalah tindakan bodoh dan konyol.”, jelasnya.[9]
Pendapat di atas sebagaimana yang diilustrasikan oleh Nabi Muhammad saw:
حدثن أبو بكر من أبي شيبة وابن نمير قالا حدثنا عبدالله بن إدرس عن ربيعة بن عثمان عن محمد بن يحيى بن حبان عن الأعرج عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف وفى كل خير أحرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز وإن أصابك شيئ فلا تقل لو أني فعلت كان كذا و كذا ولكن قل قدرالله وما يشاء فعل فإن لو تفتح على عمل الشيطان. (رواه مسلم)
Artinya: “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai Allah daripada seorang mukmin yang lemah dalam segala kebaikan. Peliharalah apa-apa yang menguntungkan kamu dan mohonlah pertolongan Allah, dan jangan lemah semangat (patah hati). Jika ditimpa suatu musibah janganlah berkata, “Oh, andaikata aku tadinya melakukan itu tentu berakibat begini dan begitu”, tetapi katakanlah, “Ini takdir Allah dan apa yang dikehendaki Allah pasti dikerjakan-Nya.” Ketahuilah, sesungguhnya ucapan: “andaikata” dan “jikalau” membuka peluang bagi (masuknya) kerjaan setan.” (HR. Muslim)[10]
Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu’ karena setelah dipelajari para Ruwat al-Hadits-nya termasuk shuduq dan atau tsiqah. Kemudian, setelah di-takhrij ternyata hadits tersebut juga terdapat pada Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad bin Hanbal, Baqiy Musnad al-Muktsarin.
Dalam hadits di atas, Nabi Muhammad mengecam orang-orang yang terbuai oleh harapan, mereka lantas malas bekerja dan beramal shaleh. “Orang yang kuat lagi cerdas”, sabda Nabi, adalah orang yang dapat mengendalikan diri dan bekerja untuk akhirat. Sedang orang yang lemah lagi konyol adalah orang yang selalu menuruti hawa nafsunya, tapi menaruh berbagai harapan dan angan-angan kepada Tuhan.
Jadi, esensi atau hakikat dari optimisme adalah raja’ yang disertai dengan tindakan yang merupakan realisasi dari harapan, bukan harapan semata-mata tanpa ada usaha. Optimisme yang dikehendaki adalah optimisme yang dibangun di atas landasan syar’i yang sangat kuat yaitu iman dan amal shaleh.
Kontekstualisasi; Pendalaman Hikmah dan Praktis Optimisme dalam Keimanan
Optimisme merupakan salah satu bentuk dari berfikir positif. Seorang yang berfikir positif akan diliputi dengan ketenangan dan hidup yang stabil. Kebaikan akan diterima sebagai anugrah yang patut disyukuri, bukan berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya. Musibah akan dihadapi sebagai cobaan yang membuatnya tertantang untuk menggapai hikmah (kebaikan) di balik itu. Untuk itu, ia akan bersikap terbuka menerima saran dan ide. Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang akan membuat segala sesuatu lebih baik. Bahkan cobaan justru semakin membuatnya optimis akan rahmat Tuhan. Perhatikan kehidupan Nabi Ya`qub. Dalam sebuah riwayat, Ya`qub memperoleh keistimewaan karena cobaan demi cobaan yang diderita telah membuatnya semakin berbaik sangka (husnu al-zhann) kepada Allah (Tafsir Ibnu Katsir 4/18). Keluh kesahnya hanya ditumpahkan kepada Allah SWT (QS. Yusuf 86), bukan kepada orang lain. Seorang yang berpikir positif bukan penganut NATO, yang diplesetkan menjadi “No Action Talk Only”.
Terakhir, hikmah utama dari bersikap optimis adalah bisa meningkatkan keimanan dan ketaqwaan pemiliknya kepada Allah SWT. Sikap optimis dan cara pandang positif akan melahirkan bahasa yang positif, baik tutur kata maupun bahasa tubuh. Dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda, optimisme (al-Fa`lu/ al-Tafa’ul) tercermin pada tutur kata yang baik (al-kalimah al-hasanah). Kata-katanya bernadakan optimisme, seperti, “masalah itu pasti akan terselesaikan”, atau “Dia memang berbakat”. Rasulpun, seperti dalam hadits lain, senang mendengar kata “sukses” (yaa najiih) jika akan melakukan sesuatu (Aunul Ma`bud, 10/293).[11]
Sudah barang tentu, ungkapan tersebut dibarengi dengan senyuman, berjalan dengan langkah tegap dan gerakan tangan yang ekspresif atau anggukan, berbicaranya pun dengan intonasi yang bersahabat, antusias, dan ‘hidup’. Wallahu a`lam
Penulis : Tongkrongan Islami via tongkronganislami.net
Belum ada Komentar untuk "Arti dari KEIMANAN .. sampe mana iman anda, Cek apakah kamu punya rasa seperti ini"
Posting Komentar